31.5.12

Tertawa Bersama : My Stupid Boss 4


Menulis itu menyenangkan. Tidak bagi semua orang namun setidaknya beberapa orang pasti akan mengangguk sepakat. Itu adalah kalimat pembuka postingan saya beberapa waktu lalu di sini. Ada yang masih ingat? -__-“

Karya tulis itu khas (seharusnya). Semacam menjadi ciri khusus bagi yang menulisnya (seharusnya). Well, meskipun sedikit banyak akan ada satu atau beberapa hal yang memengaruhi cara menulis seseorang. Seperti misalnya pengaruh buku yang baru saja dibaca.

Oke, sebagai sebuah pengakuan, saya baru saja selesai membaca buku ‘MY STUPID BOSS’. Tidak selesai 100% sih soalnya di bagian halaman yang berwarna abu-abu muda (yang berisi rekaman interaksi media sosial penulis – penggemar) hampir seluruhnya saya lewati.

Kenapa saya memilih membeli buku ini? Penasaran, kata orang lucu … Dan saya sedang butuh banyak tertawa. Maka ketika saya berkeliling di bagian novel di gramedia, saya carilah buku MSB ini. Dan saya kaget, eh ternyata ada beberapa seri ya (ya ampun ke mana aja kamu, bu!). So, terjadilah proses dipilih-dipilih itu. Saya harus pilih satu buku saja karena dana memang disiapkan untuk satu buku saja ketika itu. Dan dengan pedenya saya memilih satu, dengan asumsi itu buku pertamanya. Yap, ceritanya saya menyasar buku pertamanya, untuk cari aman, takut tidak sesuai harapan (menjadi sifat saya, suka tidak percaya namanya sekuel hehehe). Nah, ketika di rumah, anak saya membaca judul buku pilihan saya lalu dia tanya, “Lho, kenapa Ummi beli buku My Stupid Boss 4? Emang Ummi sudah baca yang lain?”

Haaaahh?!! Saya langsung lihat sampul buku itu. Ealaaahh … iya ya kok tadi waktu di gramedia saya benar-benar tidak bisa mengidentifikasi angka 4 itu di sampulnya sih? Mungkin karena jenis hurufnya meliuk-liuk kali ya? Atau memang sayanya saja! Nah, di sini saya kaget lagi, eh sudah sampai seri ke-4 rupanya. Wah, berarti buku ini benar-benar hebat nih! Begitu kira-kira pikiran saya.

So, I read …

Beberapa halaman … okay, memang lucu. Menghibur. Saya langsung serasa dejavu dengan suatu masa ketika saya kecil sedang membaca serial Lupus. Saya bukan pekerja kantor tapi sungguh bisa merasakan kelucuan-kelucuannya. Beberapa sanggup membuat saya tertawa geli. Beberapa lagi, kadang saya bingung lucunya di mana (duh parah ya sense of humor saya ;p)…

Over all, buku MSB 4 ini bagus, tapi saya tidak sedang di posisi mereview isi buku, jadi kalau kawan penasaran silakan beli/pinjem sendiri aja ya. Lagipula buku bergenre komedi semacam ini saya pikir akan sangat sulit untuk diresensi…

Sampai di pertengahan buku, saya menjadi cukup galau #halah. Tapi serius, saya jadi agak gamang. Apalagi beberapa waktu lalu saya baru saja membuat tulisan tentang bahasa Indonesia yang baku untuk penulisan karya-karya semacam novel (kecuali untuk menuliskan bagian percakapannya tentu saja). Lha ini, kok sepertinya berlawanan dengan semua itu ya? Bagaimana saya tidak galau -__-

Untungnya di buku MSB 4 ini bersitan pertanyaan saya tersebut tuntas terjawab (yah, sepertinya maka dari itulah saya ‘diharuskan’ membeli seri terakhir MSB ini ya, ‘accidently’). Chaos@work, sang penulisnya, sempat menceritakan tentang gaya menulisnya yang memang seperti itu, tidak menggunakan bahasa yang ehm baku. Saya sempat berkomentar dalam batin … enaknyaaaa menjadi seperti dirimu, Kak. Just write, tanpa perlu buka-buka kamus or thesaurus or apalah hehehe. Tapi yah itulah justru yang menjadi ciri khas beliau ya?

Pas bukunya hampir selesai saya baca …

Klik! Tiba-tiba saya teringat sesuatu. Buru-buru saya mencarinya di antara tumpukan buku di rak. Dan, kawan tahu .. dugaan saya tepat! Penerbitnya sama persis! Itu lho buku Tuilet yang pernah saya ceritakan di sini. Kalau dipikir-pikir ternyata belakangan ini saya justru menjadi pelanggan setia penerbit yang satu itu ya :D

Kalau di buku yang itu tentang penulis sungguh tak tertulis, di MSB setidaknya ada petunjuk tentang penulis. Lagipula beliau seorang blogger (jangan-jangan salah satu kawan blog saya lagi!!!) bisalah dilacak blognya (gayaku!). Lagipula saya memahami tentang mengapa identitas kakak penulis dirahasiakan. Karena apa yang ditulis adalah based on true story. Terbukti dari genre buku MSB ini adalah Nonfiksi Komedi (ini termasuk satu dari sekian hal yang baru saya tahu, ada ya ternyata genre begitu ;p) meskipun pada kenyataannya saya mendapatinya di deretan rak novel hehehe.

Jadi kembali ke kegalauan saya tentang penggunaan bahasa dalam sebuah karya, yah … ternyata pada akhirnya semua kembali kepada selera dan juga jalan rezeki kali ya? J

Ya sudah. Yang penting kembali kepada menunjuk pada diri saya sendiri, teruslah mengasah kemampuan diri dan berkaryaaaa, itu yang utama, ya kan …

Oh iya, satu hal terakhir yang cukup membuat saya merasa gimanaaa gitu, masih permasalahan penggunaan bahasa, kalau saya cermati penggunaan dan penulisan bahasa inggrisnya kakak chaos@work dalam buku MSB bagus banget ^_^. Saya hanya agak berkerut jidat ketika membaca kata, NEVA, EVA dan WHATSOEVA saja, sebelum akhirnya terbahak-bahak demi mengetahui asal katanya. (Eh tapi bener kan tebakan saya bahwa kata-kata itu maksudnya adalah never, ever dan whatsoever kan?)

note : postingan ini cukup panjang, mudah-mudahan ada yang betah membacanya ;p

26.5.12

"BLACK BOX" | Risablogedia


nemu gambar di sini

Black box, dalam sebuah musibah pesawat terbang selalu menjadi barang paling dicari untuk sedikit banyak mengetahui penyebab terjadinya suatu kecelakaan. Seperti yang belum lekang dari ingatan kita mengenai tragedi pesawat sukhoi pada awal Mei 2012 lalu. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun…

Black box berisi informasi berharga mengenai rekam jejak perjalanan pesawat dari awal take off hingga landing. Jika kawan pernah menyaksikan tayangan semacam Air Crash Investigation di NatGeo maka akan tergambar dengan jelas betapa pentingnya peranan sebuah kotak kecil yang tak selalu berwarna hitam itu untuk mengungkapkan banyak hal terkait dengan terjadinya sebuah kecelakaan pesawat.

Apabila sebuah pesawat terbang yang telah hancur lebur sekalipun bisa dicari tahu rekaman jejak perjalanannya, bagaimana dengan manusia? Apakah manusia memiliki black box? Saya berpendapat ‘ya’. Manusia sungguh memiliki ‘black box’ yang sangat presisi merekam seluruh jejak kehidupannya. Di mana keakuratannya adalah sejeli catatan Raqib dan Atid, duo malaikat pencatat segala amal. Dan sehancur-leburnya jasad manusia kelak, ‘black box’ itu akan tetap utuh, siap dibuka dan dibaca. Tidak ada kolusi semisal meminta mereka mendelete sebagian data-data keburukan kita. Semuanya utuh …

Dan saya gemetar membayangkan isi black box saya :'(

Bagaimana cara menghapus ‘inbox-inbox’ yang tak selayaknya dalam catatan duo raqib dan atid itu? Bisakah? Could you tell me how?

25.5.12

Risablogedia | Have Fun With 'Bahasa Indonesia'


gambar diambil dari google

Menulis itu menyenangkan. Tidak bagi semua orang namun setidaknya beberapa orang pasti akan mengangguk sepakat. Terkadang mampu membantu menghalau galau yang meradang. Terlebih lagi bagi orang-orang yang jarang berbicara, pendiam.

Tapi bahkan terkadang seorang penulis pun sering kehilangan kelincahan tarian jemarinya, semisal ketika patah hati,,, patah pula penanya. Semacam itulah.

Sebenarnya saya mau posting apa sih ini?
--“
Baiklah, let’s just make it simple…

Dalam dunia kepenulisan, salah satu hal yang saya berhasil pahami adalah adanya standar kata yang baku. Berhubung bahasa induk saya adalah bahasa Indonesia, tentunya acuannya adalah pada KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Memang sih dalam sebuah tulisan tidak semua harus baku. Apalagi ‘hanya’ untuk sebuah blog pribadi. Justru sentuhan personal terkadang akan sangat mencairkan suasana dan membentuk karakter serta ciri khas si blog itu sendiri. Namun entah mengapa setiap kali saya menulis, saya selalu seperti ini, cenderung baku. Kebiasaankah atau bagaimana saya sendiri tak mengerti. Tapi jujur saja, pernah tebersit di benak saya setidaknya kalau tulisan-tulisan saya cenderung menggunakan bahasa baku, ketika andaikata ada orang asing yang penasaran dan mencoba menerjemahkannya ke dalam bahasa mereka, kan jadi mudah *plakkk!!*

Salah satu alasan lain saya lebih nyaman menggunakan bahasa baku dalam tulisan adalah karena dalam percakapan sehari-hari saya sudah menggunakan bahasa campur aduk aneka logat daerah. Aturan saya ketika bicara adalah asalkan lawan bicara saya mengerti. Makanya dalam tulisan saya berusaha untuk menampilkan bahasa Indonesia yang normal. Selain itu, saya sedang belajar untuk pada akhirnya bisa menghasilkan tulisan-tulisan panjang semisal novel best seller *uhukk!* yang mana biasanya syarat yang diminta oleh penerbit adalah tulisan harus baku. Yup, makanya saya membiasakan diri dan akhirnya cukup memengaruhi cara menulis saya diii mana pun.

Kawan tahu tidak, niat awal saya membuat postingan ini sebenarnya adalah untuk segera mencabut kehiatusan blog saya tercinta belakangan ini. Tadinya saya cuma ingin menulis tips ringan seputar kata-kata baku saja, tapi kok jadi keterusan begini ya?

Pertama kali saya belajar menulis saya pun terkadang tak peduli, menulis ya menulis saja. Eksperimen kata sesukanya. Namun belakangan ini saya selalu mengecek kata-kata yang saya pilih apakah ada dalam kamus atau tidak, persis seperti kuis main kata di televisi itu. Nah, dalam rangka berbagi sedikit hal yang saya tahu, —ilmu yang baik itu sesedikit apapun paling bagus ketika dibagi kan?—berikut ini saya bocorkan beberapa kata yang biasa menjadi common-mistakes bagi orang-orang yang sedang belajar menulis, macam awak ini lah J

  • UBAH

Pernah tidak kawan menemukan kalimat seperti ini, “Kamulah yang harus merubah sendiri keadaan itu!”
Kata dasarnya ubah, dear, bukan rubah, jadinya mengubah ya jangan merubah lagi. Rubah kan kata benda bukan kata kerja hehehe.

  • PIKIR

“Saya tak bisa berfikir lagi!”
Nah, nyaris tak terasa tapi besar bedanya, lho. Coba deh cek kata fikir di pojok kanan atas beranda blog saya, tempat Kamus Bahasa Risa bertengger. Pasti nggak akan ditemukan artinya. Karena bentuk bakunya pikir bukan fikir.

  • EMBUS dan NAPAS

“Saya menghembuskan nafas lega.”
Di mana kelirunya? Yang baku adalah ‘embus’ dan ‘napas’. Jadi, saya mengembuskan napas lega. Nggak percaya? Cek lagi saja pojok kanan atas beranda blog saya, hehehe.

  • SEKADAR

“Saya hanya sekedar bercanda, kok!”
Nyaris tak terdeteksi! Apalagi bila diucapkan dengan cepat. Padahal, coba deh dicek di … yup, kau tahulah di mana, hahaha, yang baku penulisannya ya –sekadarJ

And so many more (kebayang njelimetnya tugas para editor, ya). Saya sendiri pun masih belajar. Yuk, sama-sama belajar.

Kawan tahu tak, saya punya pendapat pribadi, sebuah novel itu romansanya akan semakin kental terasa manakala para lakonnya menggunakan bahasa yang baku, lho. Tengok saja novel-novel terjemahan, baku-baku semua bahasanya hehehe. Kecuali novel-novel yang ngocol tentu saja. Tapi itu hanya pendapat pribadi saya saja, ding. What do you think?

19.5.12

I Wanna Grow Old With You


I wanna grow old with you …
Fokus kata pada grow old.
Menjadi tua.

Sudahkah seseorang melontarkan kalimat ini padamu? Yang berisi mengenai kesediaannya untuk menjadi tua bersamamu? Sebuah kalimat sederhana yang dahsyat makna. Mengingat menjadi tua (secara fisik) adalah sesuatu yang penuh konsekuensi.
  • Otot-otot mengendur

Semaksimal apapun kita berusaha, kita takkan bisa mencegah sunnatullah. Bahwa tubuh kita, otot-otot kita, semakin tua semakin tak sanggup melawan gravitasi, mengendur. Sanggupkah kelak kamu menerima itu dan menjadi tua bersamaku?

  • Kesehatan menurun

Semakin tua usia seseorang rentan baginya untuk mengalami masalah kesehatan. Semaksimal apapun kita berusaha menjaga, sunnatullah tetap akan berlaku. Bagaimanapun penyakit uzur tetap akan menggempur. Sanggupkah kelak kamu menerima itu dan menjadi tua bersamaku?

  • Fungsi fisik semakin berkurang

Mata yang mulai kabur, pendengaran memudar, rambut memutih, kulit mengerut. Sanggupkah kelak kamu menerima itu dan menjadi tua bersamaku?

** Berbahagialah ketika hari ini kita telah menemukan seorang yang dengan setulus hati, sekuat jantung dan seserius otak menjawab ‘ya’ semua pertanyaan tadi. Because it means more than I love you **

meet : my mom and dad

17.5.12

Obrolan Sore yang #Jleb!


Pada suatu sore, Ummi dan Fatih sedang leyeh-leyeh di rumah. Mereka sedang terlibat obrolan ketika tiba-tiba Fatih nyeletuk dan menanyakan sesuatu.
Fatih      : (dengan muka polos) “Ummi, kenapa Ummi pas sudah besar tidak jadi apa-apa?”
Ummi    : (glek! menelan ludah, gelagapan) “Errr … Jadi mamaknya Fatih toh…”
Fatih      : “Maksudku, kenapa  enggak jadi dokterkah, atau penjual, atau apakah?”
Ummi   : (berusaha tersenyum meski merasa tertohok karena menyadari selama ini entah sudah berapa kali Ummi terkadang bertanya padanya, ‘kalau sudah besar Fatih mau jadi apa?’) “Jadi dokter ya enggak bisalah, kan kuliahnya nggak di situ dulu. Jadi penjual pernah kan kemaren itu? Trus sekarang Ummi sedang ingin jadi penulis sih.”
Fatih      : (manggut-manggut)
gambar nemu di sini
Ummi   : “Emangnya kenapa? Fatih ingin Ummi kerja ya kayak mamaknya teman-teman Fatih? ‘Gampang’ sih, nanti tinggal Ummi cari kerja deh kalau begitu.”
Fatih      : “Ah, jangan. Saya sayang Ummi. Saya nggak mau Ummi kerja di luar begitu.”
Ummi   : (bingung)

Bagaimana menurutmu, kawan?

15.5.12

'Daur Ulang' Mountea


Kawan kenal, kan dengan minuman murmer aneka rasa buah semacam mountea dan sejenisnya (maaf saya sebut merek meskipun postingan ini tak berbayar #halah :D)? Tahu tidak, kemasan plastik dari minuman tersebut sebelum masuk tong sampah ternyata bisa dimanfaatkan? Adalah tren baru di kalangan anak-anak SD Plus Al Ashri Makassar, termasuk anak saya di dalamnya. Belakangan ini mereka sedang gemar sekali berburu kemasan bekas minuman tersebut untuk disulap menjadi kerajinan tangan, semacam bentuk bunga. Hampir tiap hari sepulang sekolah anak saya pasti membawa satu atau dua kemasan bekas minuman tersebut, baik yang belum dibentuk bunga maupun yang sudah. Saya diam-diam saja meski dalam hati rada kesal, sampah kok dipiara, hehehe. Tapi atas nama perkembangan kreativitas ya saya biarkan saja. Toh nanti lama-lama kalau sudah bosan paling berhenti sendiri, kan?

before...
...after

Cukup manis juga ya sebenarnya kreasi unik itu? (Ada yang sepakat? :D)
Siapa tahu ada yang berminat mencoba berikut saya paparkan (sebisa mungkin) cara membuatnya, ya….
  • Siapkan beberapa kemasan mountea bekas atau yang sejenis. Kata anak saya harus yang seperti itu, kalau kemasan air mineral biasa tidak memungkinkan ditransformasi seperti itu. Mengapa? Dia dan juga saya sendiri tak tahu…
  • Pilihlah kemasan bekas dengan spesifikasi(?) minimal tertera tulisan B3 ke atas pada lidah penutup minuman tersebut.


Masih menurut anak saya, semakin tinggi angkanya B3, B4, B5 dan seterusnya (kata orang) plastiknya akan semakin tipis sehingga lebih mudah dibentuk. (Saya sendiri baru tahu ada kode semacam itu pada kemasan. Artinya apa ya? Ada yang tahu?)
  • Setelah bahan siap, langkah berikutnya langsung pengerjaan (sebenarnya gampang kalau melihat langsung caranya, saya malah agak bingung bagaimana membahasakannya agar kawan bisa turut memahaminya dengan mudah). Cubit sedikit bodi kemasan bekas tersebut lalu di-datte (bahasa Makassar) atau di-slentik (bahasa Jawa) atau dalam bahasa Indonesia dijentik. Lakukan sekuat mungkin hingga plastik kemasan sedikit robek di tengah. Setelah itu tarik mengikuti pola memanjang kemasan tersebut. Bila kesulitan, gunakan saja gunting atau pentul untuk membuat robekan yang dimaksud. Ulangi terus proses tersebut hingga terbentuk pola yang sama pada sekeliling permukaan kemasan.
  • Terakhir, baliklah kemasan yang telah terpotong-potong itu dengan cara mendorong dasar kemasan mengarah ke atas sehingga terciptalah bentuk bunga plastik seperti pada gambar terdahulu di atas.


Nah, jika sudah tak terpakai lagi, segeralah buka tong sampah terdekat dan cemplungkanlah ‘sampah’ tersebut ke dalamnya. Atau bisa juga dikumpulkan dalam wadah khusus untuk kemudian diserahkan pada pengumpul barang bekas untuk didaur ulang.
J

12.5.12

Telepati Lampu Lalu Lintas


nemu gambar disini

Berkendara di beberapa ruas jalan raya Makassar belakangan ini rasanya sungguh amazing. Menakjubkan betapa antara sesama penikmat aspal telah terjalin komunikasi telepati yang tak kasatmata. Misalnya saja di perempatan pintu I Unhas. Dari arah timur (rute Daya ke kota) dan utara (gerbang I kampus), lampu lalu lintas tak berfungsi sehingga para pengendara ketika hendak melintas perempatan itu terpaksa menggunakan kode tak resmi, lirik-lirik ke depan, baku atur sendiri. Bila barisan paling depan dari arah barat (rute kota ke Daya) berhenti, itu berarti antrian kendaraan dari arah utara bisa melaju. (Jangan tanya yang dari arah timur, kendaraan dari sana nonstop melaju. Rupanya ketika lampu lalu lintas tak berfungsi selalu disepakati maknanya sebagai tanda : don’t stop …! >> jadi inget kampanye sesuatu)

Sekali waktu, beberapa hari lalu, saya hendak pulang dari arah kota menuju Daya, yang berarti posisi saya di perempatan itu berada di arah barat, satu-satunya di perempatan tersebut yang lampu lalu lintasnya selamat dari demo kenaikan bbm yang sempat terjadi beberapa waktu lalu itu. Jelas-jelas lampu masih menunjukkan warna hijau. Sebagai pengendara yang patuh pada aturan, adalah hak saya untuk terus melaju menembus perempatan itu, bukan? Meskipun saya melihat antrian kendaraan dari arah gerbang kampus sudah mulai merangsek maju sebelum waktunya. Maklumlah, di sisi mereka lampunya tak berfungsi. Jadi demi melihat hanya saya yang melaju dari kejauhan mereka pikir bisa ‘menghentikan’ saya. Tapi dasar saya kadang ngeyel juga, --- lagipula memang lampu hijau di sisi saya, kok! --- maka saya tidak menunjukkan tanda mau mengalah. Justru dari jauh saya ribut menyalak, menekan klakson maksudnya, agar mereka tahu ini masih giliran saya melalui intersection tersebut. Alhamdulillah, meski rada nekat saya berhasil lolos.

Sebal? Iyalah … Pada siapa? Entahlah. Mungkin pada para pengendara itu? Atau pada para perusak fasilitas umum? Atau pada pemda? Entah.

10.5.12

...kelu...




Tergores hatiku berdarah-darah
Melesak menembus segala arah
Menghadirkan muak yang membuncah
Pada rindu yang kujual murah

Tak tahu harus bagaimana
Toh memang keliru
Membiarkan rasa di atas logika
Meski paham itu tak perlu

Dan kini aku malu padamu
Lidahku membeku kelu
Entah kemana harus mengadu
Ringkih jiwaku rintih tersedu

7.5.12

Belajar Menulis : Sudut Pandang Kedua


ATAP TANPA PLAFON

Aku memicing memandang sosok dirimu yang sedang duduk di bangku deretan paling depan, berhadapan dengan  meja guru. Aji, begitu kudengar semua orang di kelas ini memanggilmu. Seperti biasa kau sedang asyik menggoreskan pena pada  lembaran buku tulismu.
“Apakah gerangan yang kau tulis, Anak Muda? Tiap hari kau datang paling pagi di kelas hanya untuk duduk dan membuat pena bututmu menari di atas halaman-halaman buku lusuhmu itu. Sambil mulutmu komat-kamit, asyik sendiri,” gerutuku penasaran. Pandanganku tak mampu menjangkau kecilnya tulisanmu di buku itu. Kontras dengan si bongsor yang sedang menulisi, ah, lebih tepatnya mencoreti papan tulis hitam di depan kelas dengan kapur tulis sisa kemarin yang berserakan di bawahnya.
“Ji, Aji … lihat aku tulis namaku!” si bongsor memanggil namamu sembari tertawa-tawa riang menuliskan namanya di papan hitam itu. KIJO. Bahkan dari ketinggian tempatku berada aku bisa membacanya. Aku tak mengerti, sepertinya ada yang berbeda dari anak lelaki bongsor itu karena tingkahnya tak sama dengan dirimu atau anak lainnya penghuni kelas ini.
“Iya, Jo. Jangan panggil-panggil terus, tho! Aku sedang konsentrasi penuh. Nanti saja kalau karyamu sudah selesai baru kau suruh aku melihat ke papan itu, ya?” kau menjawab bahkan tanpa menoleh.
Aku semakin penasaran. “Apa sih yang kau tulis, Anak Muda? Sampai-sampai kawanmu pun tak kau acuhkan.”
Kualihkan pandangan ke arah cakrawala. Hangat rasanya tubuh rentaku dipapar oleh sinar mentari pagi yang kekuningan. Mengusir perlahan jejak dingin hujan sisa semalam.
Bersamaan dengan itu anak-anak penghuni kelas mulai berdatangan memenuhi ruangan. Suasana menjadi ramai oleh celoteh riang di tiap sudut kelas. Beberapa dari mereka kulihat asyik menikmati sinar mentari yang menerobos masuk melalui celah-celahku. Elok dipandang, bagaikan dirancang khusus menjadi semacam sorot lampu panggung pertunjukkan partikel-partikel debu.
“Jo! Lekas bantu aku menghapus papan! Sebentar lagi bel berbunyi. Nanti Bu Guru marah, dikira aku tidak piket pagi ini,” sebuah suara nyaring terdengar, membuyarkan lamunanku. Rupanya Seruni, salah satu penghuni kelas. Seorang anak perempuan bertubuh mungil yang paling sering mengangkat tangan dan menyambar habis semua pertanyaan guru. Wajah ayunya merengut. Ia menarik lengan si bongsor yang alih-alih langsung membersihkan papan rupanya malah kembali ke tempat duduk dan terkesima memandangi hasil coretannya sendiri.
“Kok kamu tahu kalau itu aku yang nulis?” Kijo tampak terperangah.
“Anak TK juga pasti tahu kalau itu tulisanmu, Jo!” dengan kesal Seruni berusaha menyeret lengan gempal Kijo.
Aku terbahak melihat mereka. Tentu saja anak TK pun akan langsung tahu kalau coretan di papan tulis itu adalah ulah Kijo. Lha wong, bunyi tulisannya adalah namanya sendiri yang diukir memenuhi seluruh papan tulis!
“Sini aku bantu,” rupanya kau sudah menghentikan kesibukan menulismu dan beranjak mendekati Kijo untuk mengulurkan bantuan. “Bagus ya, Jo!” komentarmu sambil nyengir melihat hasil karya Kijo.
Teng, teng, teng. Terdengar lonceng sekolah berbunyi di kejauhan. Anak-anak bergegas kembali ke tempat masing-masing menyisakan kau dan Kijo yang masih berusaha memulihkan papan tulis ke warna asalnya semula. Rupanya tenaga si bongsor menorehkan kapur tulis pagi ini benar-benar maksimal sehingga meskipun tulisan namanya sudah terhapus namun sisa-sisa kapur membuat papan tulis itu nyaris putih.
“Siaaappp … Salam!” terdengar suara Bagas sang ketua kelas meneriakkan aba-aba siap pertanda seorang guru sudah tinggal beberapa langkah dari pintu kelas.
“Assalamu alaikum,” seperti kor anak-anak serempak berucap salam.
“Waalaikum salam,” Bu Guru Muti, demikian anak-anak menyapanya, menjawab. Setiap kali Bu Guru Muti masuk ke kelas setiap kali juga aku bertanya-tanya sendiri, mengapa ia tak sama dengan guru-guru lainnya yang pernah masuk ke ruangan kelas ini, yang di wajahnya mulai muncul kerut dan di rambutnya mulai tumbuh uban? Tak seperti mereka, Bu Guru Muti orangnya masih muda, cantik dan berkerudung rapi. Sayangnya aku tak bisa menanyakan alasannya kepada Bu Guru Muti.
Tentu saja, aku hanyalah sebidang atap, tak berplafon, yang menaungi ruangan kelas ini. Usiaku sudah cukup tua, super senior, seperti guru-guru selain Bu Guru Muti yang kusebutkan ciri-cirinya tadi. Semenjak aku didirikan, seperti inilah selalu keadaanku. Hanya bedanya dahulu diriku kokoh, dengan gagah menaungi ruangan kelas ini dari terpaan hujan, kilat, panas yang menyengat bahkan angin kencang. Sungguh berbeda dengan keadaanku sekarang, ringkih. Bahkan aku sendiri tak yakin berapa lama lagi aku bisa bertahan melaksanakan tugasku.
 “Anak-anak, tolong perhatiannya sebentar!” bu guru Muti berkata memecahkan keheningan kelas. “Tadi Bapak Kepala Sekolah menyampaikan kabar bahwa minggu depan akan ada kunjungan dari Pak Bupati ke sekolah kita ini. Nah, katanya beliau hendak mengulurkan bantuan untuk merenovasi sekolah kita ini.”
Sambil berkata demikian Bu Guru Muti melayangkan pandangannya ke arahku. Diikuti oleh matamu dan puluhan pasang mata kecil lain nan jernih. Aku terharu.
***
Siang hari yang terik di sela-sela musim penghujan, seusai sekolah. Sudah tak ada kau, Kijo, Seruni, Bagas, Bu Guru Muti dan anak-anak lainnya di bawah naunganku. Kulirik gumpalan-gumpalan awan gelap yang bergelayut di ufuk barat. Pertanda paling lambat nanti sore pasti akan turun hujan sangat lebat, seperti biasanya. Sabar, aku berkata pada diriku sendiri. Ingat apa kata Bu Guru Muti tadi bahwa akan ada bantuan untuk merenovasi sekolah ini.
Glar! Petir menggelegar mengiringi sambaran kilat. Lalu tetesan air langit melimpah tertumpah tepat ke sekujur tubuh ringkihku. Sejak sore hingga semalam suntuk. Aku berusaha, sungguh berusaha sekuat tenaga menahan segala kepayahanku. Renovasi minggu depan… Renovasi minggu depan… Renovasi minggu depan… Duh, Gusti! Aku masih ingin melihat Aji, aku belum berhasil tahu apa yang selama ini ditulisnya dalam lembaran buku lusuhnya. Juga Bu Guru Muti tentang alasannya mengapa ia mengajar di sini. Juga Kijo, Seruni, Bagas dan yang lainnya.
***
“Oalah, atapnya kok ambruk tho, Ji?” sayup-sayup aku masih bisa mendengar Kijo bertanya padamu sambil menatap puing-puingku, pagi-pagi sekali.
Kau diam tepekur. Matamu menatapku nanar, berkaca-kaca.
“Bu Guru, kita belajar dimana jadinya?” kali ini kudengar suara Seruni terisak sambil memeluk Bu Guru Muti.
 “Padahal minggu depan Pak Bupati akan datang meninjau. Sayang ya atapnya sudah keburu ambruk,” semakin samar aku mendengar seseorang berkata. Setelah itu gelap. Hening.


Cerpen ini dibuat dalam rangka belajar menulis dengan penggunaan POV 2. Jika kawan mempunyai kritik dan solusi atasnya, I'll be very appreciate it. Thanks before :)