30.11.11

Tragedi Daun Singkong

Tragedi Bayam
Pada suatu hari, Annisa, adik saya, seorang mahasiswi co-as FKG Unpad, menelepon mamanya (yaitu mama saya juga).
Annisa : ”Ma, kenapa ya saya tadi masak sayur bayam kok lama sekali empuknya?”
Mama  : (keheranan) “Hah? Bayam apa kamu masak tho? Wong kalo bayam itu dimasukkan ke air panas saja langsung layu? Jangan-jangan kamu salah?”
Annisa : “Masa’ sih? Bayam itu yang  daunnya kayak telapak tangan!”
Mama  : “Oalah, itu daun singkong!”

Tragedi Kangkung
Pada suatu hari Dewi, adik (ipar) saya, seorang marketing di Daihatsu Astra, berbelanja di swalayan dengan mama (mertua)nya (yaitu mama saya juga).
Mama : “Mau masak apa tho, Wi?”
Dewi : “Mau masak kangkung aja, Ma.”
Dewi beranjak menuju ‘kangkung’ lalu asyik memilih-milih.
Mama : “Wi, katanya mau masak kangkung?”
Dewi  : “Iya, Ma ini pilih-pilih dulu.”
Mama : “Lho, itu kan daun singkong, yang ini kangkung.”
Dewi  : (cekikikan geli sendiri)

Kok bisa dua kejadian di tempat dan waktu yang berbeda sama-sama melibatkan daun singkong ya? By the way, buat adik-adikku yang cantik cantik ayooo belajar lagi mengenali aneka dedaunan. Ha ha ha…

29.11.11

Tentang Fatih

Fatih adalah anak lelaki saya. Nama lengkapnya adalah Yusuf Fatih Al-Amin. Usianya sekarang 5 tahun, bersekolah di TK Al-Ashri. Tak sama dengan sang kakak (bukan dalam makna negatif), Fatih memiliki kisah yang berbeda untuk didokumentasikan. Mulai dari fisik (iyalah laki-laki) yang cenderung kurus sampai pada minat, banyak berbeda. Dari sisi parenting, mereka berdua benar-benar mengharuskan saya untuk selalu belajar menjadi orangtua. Bagaimana tidak, saya kira mengasuh Fatih tak akan jauh berbeda dengan kakaknya. Ternyata perkiraan saya meleset, semua pola pengasuhan Taris tak bisa saya terapkan kepada Fatih. Benar-benar harus selalu belajar ternyata hidup ini J.

Contoh kecil saja, siapa sangka pada hari pertama masuk sekolah Fatih menangis. Kalau istilah psikologi dia ternyata termasuk anak phobia sekolah, tak gampang percaya untuk memasuki lingkungan baru tanpa saya. Mana pernah saya mengalami ini dengan Taris, dia bahkan bukan diantar saya sewaktu hari pertama sekolah karena waktu itu saya sibuk mengurusi bayi Fatih di rumah. But, I’m glad it’s over, mungkin suatu waktu saya akan buat catatan khusus mengenai ini J.

Perbedaan lain yang cukup menonjol antara Taris dan Fatih adalah soal minat. Jika sedari kecil Taris mudah sekali untuk diajari balistung, Fatih berada di jalur santai-santai saja dalam proses ini. Sampai saat ini pun dia masih tertatih-tatih untuk urusan yang tiga ini (bukannya tak bisa tapi itu tadi, santai). Tapi jangan ditanya kalo soal gambar-menggambar. Dari mulai bangun tidur sampai tidur kembali, entah berapa banyak sketsa bisa dia hasilkan. Saya sampai bingung mau mengkoleksi semua sketsanya yang sudah beratus-ratus lembar itu bagaimana caranya? Kadang juga pusing kalo dia sudah membuat rumah berantakan dengan kertas-kertas berisi sketsanya. Belum lagi kalau dia bosan dengan kertas dia merambah dinding rumah (kontrakan! Arrggh), lantai (ini sih mudah dipel) bahkan hingga sprei tempat tidurnya! Huufft. Entah nantinya akan mengarah kemana minatnya ini, saya akan terus memantau perkembangannya. Kita lihat saja nanti…

TARIS dan Sains

Entah sejak kapan tepatnya Taris memiliki minat yang signifikan terhadap sains. Saya pernah bertanya padanya tentang pelajaran apa yang paling dia sukai di sekolah. Dia menjawab sains. Saya pikir tidak serius, mengingat di semua pelajaran dia sama-rata bagusnya kecuali olahraga dan seni hehehe. Tapi ternyata dari waktu ke waktu sepertinya dia memang serius dengan minat sainsnya itu. Ketika Taris kelas 3, dia minta berlangganan majalah komik sains, KUARK. Kemudian ketika ada perlombaan olimpiade sains dia juga sangat bersemangat untuk berpartisipasi. Alhamdulillah, keikutsertaannya di tahun kedua dari kompetisi itu membuahkan hasil. Taris berhasil masuk final lomba Olimpiade Sains Kuark mewakili Sulawesi Selatan. Meskipun tak menggondol gelar juara tapi hal itu benar-benar prestasi luar biasa. Anak perempuan saya, kelas 4 SD, belum genap 10 tahun waktu itu, berlaga di tingkat nasional di bidang sains. Subhanallah. Dan yang lebih membanggakan dan mengharukan adalah dia melakukannya otodidak. Tak pernah ada yang benar-benar serius membimbingnya untuk tujuan itu, benar-benar hanya keinginannya sendiri. Saya sebagai orangtuanya pun hanya memfasilitasi dengan cara berlangganan komik sains tadi. Ah, anakku memang top :). Misinya tahun depan adalah kembali mengikuti OSK dan bisa kembali lolos ke babak final. Doakan ya, kawan…

Tentang Taris

Taris adalah anak pertama saya. Perempuan. Nama lengkapnya Taris Zahratul Afifah. Umurnya sekarang 10 tahun. Bersekolah di SDP Al-Ashri, kelas 5. Tak banyak yang bisa saya kisahkan tentang masa kecil Taris karena sebagian besar sudah terlupa. Sayang sekali pada waktu itu yang namanya blogging dan social media belum semudah saat ini dan saya juga tak pernah mengabadikan segala cerita tentang Taris dalam bentuk tulisan, hanya mengandalkan memori, sehingga banyak terlupa. Yang jelas, Taris waktu bayi hingga balita, montok tok tokk, seng ada lawan kata orang Ambon, lucu J. Selain lucu, dia juga cerdas. Usia prasekolah dia dengan mudah diajari membaca, menulis dan berhitung sehingga ketika masuk TK dia selalu beberapa langkah di depan teman-temannya. Oh iya satu hal yang menonjol dari Taris juga adalah dia kuat sekali hapalannya. Dengan mudah dia bisa menghapalkan surat-surat pendek Al-Quran yang bahkan saya sendiri pun tidak hapal. Selain itu dia juga kritis terhadap segala hal, juga suka banyak tanya dan ceriwis. Saya ingat kalau kami mengadakan perjalanan maka dia tidak akan berhenti bicara apa saja hingga tiba di tempat tujuan. Sekali lagi sungguh saya menyesal tidak pernah mengabadikan segala celotehnya segala tanyanya segala masa kecilnya hingga akhirnya missed seperti ini L.

Anyway, sekarang dia sudah besar, hampir remaja. Masih cerdas, masih ceriwis cuman sudah tidak lucu lagi, tapi cantik. Dan sudah tidak terlalu montok hehehe. Mulai sekarang saya akan selalu berusaha meluangkan waktu untuk mengabadikan segala kisah tentangnya dalam tulisan, agar tidak missed lagi seperti dulu. Karena ternyata memori ini tak bisa diandalkan…

HAND-BAG jelek?

Peristiwa ini sudah dua kali terjadi pada saya. Membuat saya gemas, geregetan sehingga terpikir untuk menuliskannya. Tidak bermaksud untuk cari perkara, hanya sekedar berbagi pengalaman agar kita semua bisa instropeksi dan berbenah diri menjadi lebih baik lagi.
Peristiwa pertama :
(Oktober 2011) Saya sekeluarga berencana untuk ke toko buku G**m***a di Panakukkang Mall, Makassar. Saat itu bukan kali pertama kami kesana, boleh dibilang sudah langgananlah. Saya dan anak-anak ketika ada keperluan terkait urusan tulis menulis dan baca membaca, merasa paling nyaman ke toko tersebut untuk mencarinya. Sesampainya disana saya bergegas menuju bagian penitipan barang karena ada satu kantong belanjaan yang saya sendiri paham, harus dititip. Toh siapa juga yang mau keliling toko buku membawa-bawa tentengan. Sementara posisi hand-bag saya saat itu sengaja saya selempangkan diagonal melintang badan. Yang mana posisi itu adalah favorit saya ketika berbelanja apalagi keliling toko buku. Praktis. Bebas. Sementara itu anak-anak bersama ayahnya di bagian lain berjarak beberapa langkah dari saya.
Sambil menerima titipan saya, om penjaga barang meminta saya sekalian menitipkan hand-bag juga, yang sudah nongkrong dengan nyaman tadi. Dalam hati saya langsung kesal, tersinggung, merasa terlecehkan kredibilitas saya sebagai seorang yang dapat dipercaya. Tapi saya berusaha sabar tidak langsung emosi padanya.
“Lalu dompet saya, handphone saya bagaimana (saya lupa tidak sekalian menyebut kunci rumah dan beberapa kunci lain yang ada di dalam tas)?” tanya saya menantang dia.
“Dipegang saja,” katanya.
“Oh, harus begitu ya?” tanya saya benar-benar menahan emosi.
“Iya,” sahutnya keukeuh.
“Ya sudah, ngga’ jadi saja deh,” kata saya ketus. Lalu saya bergegas menghampiri anak-anak dan ayahnya untuk mengajak mereka pergi saja, batal ke toko buku tersebut. Saat itu mereka sedang di konter penerjemah bahasa elektronik yang posisinya tak jauh dari tempat penitipan barang. Mulailah emosi saya tumpahkan disitu, saya pun ngomel sendiri dengan suara agak keras dan bahasa tubuh dibuat sedikit berlebihan, sengaja supaya menjadi perhatian petugas toko. “Ayo mi deh kita balik saja, ga jadi masuk. Masa’ na suruh saya titip tas padahal orang lain masuk pake tas yang lebih besar dari punyaku boleh ji,” omelku dengan dialek setempat. Anak-anak yang paling protes, “Yaaaahh, kenapa ndak jadi, Ummi?” ungkap mereka kecewa. “Habis Ummi kesal, kalo memang aturannya semua tidak boleh bawa tas okelah saya terima, tapi ini kenapa cuma saya? Tuh lihat dimana-mana pada bawa tas, lebih besar lagi dari punyaku,” kata saya sambil menahan airmata. Kebayang saat itu pasti hidung saya jadi ungu dan mata saya berkaca-kaca. Karena memang begitulah kalau saya marah, biasanya tidak bisa bicara malah airmata yang tumpah hehehe.
Di satu sisi saya kesal di satu sisi saya tidak tega mengecewakan anak-anak. Akhirnya saya menghampiri petugas sekuriti yang menjaga gerbang toko buku memprotes kejadian barusan. Dan tanpa satu dua tiga beliau langsung mempersilakan saya masuk saja tak perlu titip hand-bag. Tapi berhubung bagaimanapun juga barang tentengan saya tetap harus dititipkan maka saya pun kembali ke om penjaga barang tadi.
“Ini saya titip. Bapak yang disana tadi bilang tas saya boleh dibawa,” kataku ketus.
“Oh iya, Bu soalnya kan Ibu sudah tanya disana, “katanya mulai ciut.
“Terus kenapa orang lain boleh-boleh saja masuk dengan tasnya?” tanya saya ingin tahu teorinya.
“Yang boleh bawa tas itu karena ada laptopnya, Bu,” terang si om penjaga barang entah serius entah ngawur!
Saya jadi geli mendengar penjelasan tersebut. Masih ada keinginan untuk mendebat dan meluapkan emosi, apalagi dengan posisi dan argumentasi saya yang bakalan cukup kuat pasti akan membuat saya menang. Tapi ya sudahlah. Kasihan nanti om penjaga barangnya J
Peristiwa kedua :
(November 2011) Siang itu saya dan anak-anak mengunjungi (lagi-lagi) toko buku tapi kali ini di M’tos. Ketika melewati pintu, penjaganya meminta hal yang sama, menitipkan hand-bag. Singkat cerita, akhirnya saya katakan pada anak-anak agar mereka masuk saja sendiri mencari keperluannya biar saya menunggu diluar. Melihat keputusan saya seperti itu, bapak penjaga itu pun akhirnya membolehkan saya dan hand-bag saya masuk.

Kedua peristiwa itu semakin membuat saya penasaran, sebenarnya bagaimana sih prosedur keamanan toko-toko besar dengan sistem pelayanan pegang dan pilih barang sendiri seperti kedua toko buku itu? Saya bisa berempati betapa repotnya mengawasi para pengunjung dengan segala karakteristik dan niat, yang datang kesana. Belum lagi kalau misalnya big boss tak mau tahu dengan segala bentuk kehilangan. Pastinya stressfull. Hanya saja dalam pikiran saya, soal keamanan ini seharusnya kan tidak boleh bertentangan dengan standar kenyamanan pengunjung ya? Apalagi hanya soal tas bawaan. Apa standarnya sehingga ada pengunjung yang harus menitipkannya sementara ada pula yang bebas melenggang? Apa dikiranya orang dengan wajah tertentu bakalan tak mampu bayar? Atau potensial nyolong? Huuuh, ini yang bikin saya selalu emosi ketika masuk pusat perbelanjaan lalu disuruh menitipkan hand-bag. Bahkan saya sampai mengira, apa dikiranya saya pelajar? Hahaha. Atau apa karena tas saya jelek? Hahahaha.

Antara Belajar Nge-Blog dan Nyetir

Dua kegiatan ini sedang menyibukkan hari-hari saya belakangan ini. Nge-blog, sudah lama saya ingin melakukannya tetapi rasanya ‘malas’. Karena saya tahu nge-blog bukan seperti berkecimpung di social media seperti facebook misalnya dimana mentahannya sudah bagus, tinggal mengisi, pakai, nulis ini, nulis itu, upload ini, upload itu, beres! Nge-blog, oh la la … lumayan, harus sambil belajar! Kalau ingin seperti ini harus bagaimana, kalau ingin seperti itu harus bagaimana? Makanya baru sekarang ini saya putuskan untuk mulai belajar membuat blog. Supaya serius… J

Jadi sejauh ini, blog saya tampilannya baru seperti ini, masih polos. Rencananya hari ini saya ingin mencari tahu bagaimana agar yang namanya chatbox dan counter pengunjung bisa muncul di wall eh apa ya istilahnya, ini kan bukan facebook? Tapi sebelumnya menulis ini dulu hehehe.

Sekarang soal nyetir (mobil). Ini gara-gara ibu-ibu nih sebenarnya. Ceritanya setiap hari saya mengantar anak saya, Fatih, ke sekolah. Nah, jadinya setiap hari juga saya menyaksikan beberapa orangtua murid, ibu-ibu, nyetir mobil sendiri bolak-balik ke sekolah. Saya ‘IRI’. Tapi dalam artian positif maksudnya. Bukan iri dong ya? Yah whateverlah istilahnya J. Yang pasti saya jadi merasa tertantang. Kok mereka bisa sih ya? Sedangkan saya dari dulu mentok di nyetir motor terus bisanya. Harus bisa juga…! Begitu, tekad saya.

Jadi akhirnya, setelah mengantar anak saya sekolah saya tidak pulang ke rumah tapi meluncur ke rumah ortu. Soalnya ada mobil nganggur di garasinya. Dan saya nobatkan bapak saya menjadi  instruktur pribadi saya. Alhasil, Alhamdulillah kalau sekedar berkeliling kompleks sih … bisalah! (padahal keringat saya mengucur deras selama latihan, saking tegangnya!) sampai-sampai saya heran ketika selesai latihan kenapa ini baju basah semua gini ya? ha ha ha

28.11.11

IndonesiaKU

aku cinta negeriku indonesia
negeri dengan segudang kekayaan yang tersimpan didalamnya
negeri dengan segala keragaman budaya, bahasa, suku, agama
negeri dengan segala keelokan alamnya
negeri dengan segala keramahan dan kebaikan hati penduduknya


aku memimpikan negeriku indonesia
diayomi oleh seorang pemimpin yang takut hanya kepada Tuhan
aku merindukan negeriku indonesia
diatur oleh aturan yang mampu mengakomodasi segala potensi segala keragaman tanpa ada diskriminasi
bukan oleh aturan yang mampu dibeli hanya dengan segepok uang
sehingga dengan pemimpin yang seperti itu
sehingga dengan aturan yang seperti itu
negeri ini sungguh menjadi untaian zamrud
dan menjadi berkah bagi semua.

bisakah?
bilakah?

Luar Hati

Suatu malam menjelang waktu tidur tiba. Kaka Taris membawa sebuah buku cerita dan menuju ke tempat tidur ade Fatih.
Kaka Taris : “Mau baca buku ini dulu deh.”
Ade Fatih : “Bacakan, Kaka. Tapi di luar hati ya, saya mau dengar!”
Ummi (membatin) : (bener juga ya, baca dalam hati kan lawan katanya baca luar hati)
:))

27.11.11

New kids on the BLOG ^_^

Akhirnya hari ini saya memutuskan untuk mulai nge-blog. Pagi-pagi mendaftar, lalu seharian mengedit ini itu, mencoba ini itu, mengganti ini itu dan akhirnyaaaa ... ta daaaa ... this is it! my new blog :
mana?
mana?
(masih kosooonggg)
hehehe